Pengembangan SDM Bupati Buru Selatan Safitri Malik bersama 13 Kepala Daerah di Indonesia berada di Fukuoka – Jepang menghadiri Training Of Trainer Pengembangan Pertanian Berkelanjutan, Mitigasi Bencana Serta Pengembangan Agrowisata Bekelanjutan di Organization for Industrial, Spiritual and Cultural Advancement (OISCA). Fukuoka-shi, Fukuoka, Japan OISCA merupakan suatu organisasi International nir laba yang berpusat di Jepang dan memiliki banyak cabang yang tersebar di berbagai negara terutama di kawasan Asia Pasifik dan Amerika latin. Bertujuan untuk meningkatkan semangat dan budaya berkarya pada masyarakat dunia, khususnya pada masyarakat negara – negara berkembang.
Dari segi teknologi, kebijakan pemerintah, hingga budaya petani, perbedaan sistem pertanian di Jepang dan Indonesia menjadi salah satu hal yang menarik untuk dibahas.
Jepang dan Indonesia memiliki perbedaan signifikan dalam pendekatan mereka dalam mengembangkan sektor pertanian. Di jepang, pertanian telah menjadi bagian penting dalam ekonomi negara dan menjadi sumber penghasilan yang besar bagi petani.
Sementara di Indonesia, sektor pertanian masih dianggap sebagai sektor yang kurang berkembang dan dihadapkan pada berbagai tantangan seperti masalah infrastruktur dan akses ke pasar.
Namun, perbedaan ini tidak hanya terlihat dari aspek ekonomi semata. Ada juga perbedaan dalam pandangan dan nilai-nilai budaya yang dipegang oleh masyarakat petani di kedua negara. Perbedaan ini dapat dilihat dari cara petani di Jepang memperlakukan lahan mereka yang dianggap sebagai harta suci dan juga diwujudkan dalam sistem sawah terasering yang dianggap sebagai warisan budaya yang perlu dijaga dan dilestarikan.
Sedangkan di Indonesia, petani masih menghadapi berbagai masalah seperti lahan yang sempit dan kurangnya modal dan teknologi yang diperlukan untuk meningkatkan produktivitas pertanian.
Teknologi pertanian yang canggih
Kuatnya industri otomotif di Jepang juga berdampak pada pertanian. Sistem pertanian di Jepang telah menggunakan teknologi yang canggih. Untuk menanam, menyirami, hingga memanen, petani Jepang telah dibantu dengan mesin. Jika di Indonesia membajak sawah masih menggunakan bajak tunggal, di Jepang membajak telah menggunakan bajak enam sehingga 1-2 jam telah selesai.
Etos kerja yang tinggi
Bertani di Jepang juga menerapkan jam kerja seperti bekerja di kantoran. Setiap petani di Jepang akan memunyai sejumlah karyawan yang membantu mengelola lahan pertanian
seluas 7-10 ha. Jam kerjanya pun ditentukan. Kerja secara normal
dilakukan selama delapan jam mulai dari pukul 02.00 dini hari. Istirahat
yang dilakukan karyawan tidak dihitung jam. “Istirahat sarapan itu
tidak dihitung dalam delapan jam kerja.
Lahan pertanian yang dimiliki petani Luas
Jangan bayangkan lahan pertanian di Jepang seperti di Indonesia yang tiap petani hanya memiliki sepetak atau dua petak sawah. Di Jepang, seorang petani biasa memegang 7-10 hektare sawah.
Sawah yang dimiliki satu keluarga di Jepang diwariskan dengan cara tidak dibagi-bagi seperti yang terjadi di Indonesia. Setiap keluarga, hanya ada satu anak yang akan mewarisi lahan pertanian. Anak yang benar-benar ingin menjadi petani yang akan dipilih untuk mewarisi lahan pertanian. Sedangkan anak lainnya akan menerima warisan dalam bentuk lain.
Dengan memiliki lahan pertanian yang luas, pengaturan pertanian akan lebih mudah dilakukan. Penggunaan mesin-mesin dalam pertanian juga lebih mudah karena luasnya lahan.